Mengenangkan Sejarah Perguruan Thawalib

Judul tulisan ini sebenarnya adalah judul buku yang disusun oleh H.M.D. Datuk Palimo Kayo, seorang ulama besar yang pernah memimpin Perguruan Thawalib setelah Tuanku Mudo Abdul Hamid Hakim paska peristiwa  PRRI tahun 1959.

Oleh : Irwan Natsir – Sekretaris Umum Yayasan Thawalib Padang Panjang

Sengaja judul buku tersebut yang terbit tahun 1970 dipilih dalam tulisan ini, karena pada bulan Mei ini, adalah kelahiran (milad) dari Perguruan Thawalib yang berdiri tahun 1911. Jadi, bulan Mei 2021 usia Perguruan Thawalib memasuki 110 tahun.

Karena mengenangkan sejarah, tentu mencoba untuk membaca kembali sejarah berdirinya Thawalib yang dilabelkan oleh sejarawan Taufik Abdullah sebagai sekolah Islam modern pertama di zaman Hindia-Belanda tersebut.

Pertama mengenai tahun berdiri. Sampai saat ini tahun 1911 adalah tahun yang dijadikan patokan atas kelahiran Perguruan Thawalib yang dulu bernama Sumatera Thawalib. Maka sampai kini, setiap bulan Mei menjadi hitungan bertambahnya usia sekolah ini.

Menelisik tentang tahun kelahiran tersebut, akan muncul beraneka ragam tahun kelahiran. Ada yang menulis kelahiran tersebut sejak adanya perkumpulan Sumatera Thawalib tahun 1918. Bahkan, ada pula yang mengkaitkan dengan sejak cikal bakal berdirinya surau Jembatan Besi sebelum tahun 1900.

Namun begitu, bagi segenap aktivitas Perguruan Thawalib, tahun 1911 telah menjadi patokan tahun kelahiran. Sehingga tahun tersebut menjadi tahun resmi yang dicantumkan dalam papan yang dipasang di  gedung tua di Thawalib Padang Panjang.

Pemilihan tahun 1911 ini, alasan yang dipakai mengutip penjelasan Burhanuddin Daya. Katanya, dapat dimengerti,karena yang dipakai di situ sebagai patokan adalah kehadiran Syekh Abdul Karim Amrullah di Padang Panjang ketika diserahi menjadi pimpinan surau jembatan besi pada tahun 1911 M tersebut. Dan semenjak itu pulalah gairah mengaji di surau jembatan besi menjadi mulai bergelora, seterusnya surau itu berfungsi sebagai salah satu pusat gerakan kaum muda. Dari surau ini terpancar gerakan sebagai pendorong kemajuan pendidikan, publikasi, tabligh-tabligh akbar dan perdebatan-perdebatan umum dengan ulama-ulama pembela Islam tradisional dan adat. (Burhanuddin Daya, ((1988), Disertasi: Sumatera Thawalib dan Gerakan Pembaharuan Pemikiran islam di Sumatera Barat, Yogyarkarta).

Mengenangkan Sejarah

Dengan usia Perguruan Thawalib saat ini 110 tahun, maka mengenangkan sejarah pertama tentu pada tokoh tokoh yang mengelola Thawalib sejak awal berdirinya. Maka nama pertama yang muncul adalah Syekh Abdullah Ahmad. Ia lahir di Padang Panjang pada 1878. Sejak kecil mengaji pada ayahnya sendiri sambil menyelesaikan sekolah dasar. Pada tahun 1895,  ke Makkah untuk menunaikan ibadah haji dan belajar ilmu agama Islam kepada Syekh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi. Tahun 1898 pulang dari Makkah langsung memimpin pengajian Surau Jembatan Besi cikal bakal berdirinya Perguruan Thawalib.

Inilah sosok pertama yang mengelola surau Jembatan Besi yang nantinya menjadi cikal bakal berdirinya Thawalib. Ia mengelola pengajian surau sampai tahun 1906 karena pindah ke Padang mendirikan sekolah Adabiyah.

Sosok kedua adalah Syekh Daud Rasjidi (ayah dari HMD Datuk Palimo Kayo). Dilahirkan tahun 1880 M di Balingka, sebuah nagari yang terletak di Kecamatan IV Koto, Kabupaten Agam.  Waktu  umur  sekitar 15 tahun (sekitar tahun 1895 M) berangkat ke Makkah dibawa oleh kakaknya, untuk memperdalam ilmu agama serta pengetahuan tilawatil Qur’an (qiraat, fashahah maupun tajwidnya), disamping tentunya untuk menunanikan rukun Islam yang ke-lima, naik haji. Di Makkah,  belajar ilmu agama Islam pada ulama besar  Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi

Ia mengelola pengajian surau Jembatan Besi tahun 1906 dan kepergiannya ke Makkah al Mukarramah untuk memperdalam pengetahuannya dengan Syekh Ahmad Chatib, maka pengajian Surau Jembatan besi sementara digantikan oleh kakaknya, Syekh Abdul Lathif Rasjidi.

Nama ketiga yang dikenangkan adalah Syekh Abdul Karim Amrullah. Dilahirkan di sebuah kampung yang bernama Kapalo Kabun, Jorong Batuang Panjang, Nagari Sungai Batang, Maninjau, Luhak Agam ,tanggal 10 Februari 1879. Tahun 1894 berangkat ke Makkah. Selama 7 tahun di Makkah  belajar kepada Syaikh Ahmad Khatib dan beberapa ulama terkenal lainnya, seperti Syaikh Abdullah Jamidin, Syaikh Usman Serawak, Syaikh Umar Bajened, Syaikh Saleh Bafadal, Syaikh Hamid Jeddah, Syaikh Sa’id Yaman, dan Syaikh Yusuf Nabhani. Pulang ke tanah air pada tahun 1319 H/1901 M.

Di tangan ayah dari Buya Hamka inilah Thawalib berkembang pesat dan melakukan pembaharuan dalam pendidikan. Para murid murid diajarkan berorgansasi, berdiskusi, berdebat. Buku buku yang diajarkan juga diperbaharui dan banyak karangan ulama Timur Tengah diajarkan. Sekolah dengan sistim klasikal memakai bangku dan meja. Maka periode Inyiak DR sebutannya, maka pembaharuan Pendidikan Thawalib terjadi dan menjadi pelopor nanti dalam pendidikan Islam.

Selanjutnya nama yang dikenangkan adalah Tuanku Mudo Abdul Hamid Hakim. Lahir pada tahun 1893 di Sumpur Kudus, Tanah Datar. Mulai belajar secara langsung dengan Haji Rasul (Syekh Abdul Karim Amrullah) ,  pada usia 16 tahun . Sebelum belajar kepada Haji Rasul, dia sendiri sudah lebih dahulu menamatkan tahapan pendidikan dasar (volk school) di kota Padang, sebelum kemudian berlanjut kemudian di kampung halamannya di Sumpur Kudus, Tanah Datar.

Sejak Syekh Abdul Karim Amrullah pulang ke Maninjau sekitar tahun 1926, maka Thawalib dipimpin oleh Tuanku Mudo Abdul Hamid Hakim sampai terjadinya peristiwa PRRI tahun 1959.

Nama yang dikenangkan berikutnya yakni H.M.D Datuk Palimo Kayo sendiri.  Lahir  hari Sabtu tanggal 10 Maret 1905 M, bertepatan 17 Syafat 1321 H, di Pahambatan – Balingka, Kecamatan IV Koto Kabupaten Agam. Pada tahun 1917, dipindahkan orang tuanya ke Padang Panjang,  belajar di Sumatera Thawalib. Institusi pendidikan yang dipimpin oleh Syekh Haji Abdul Karim Amrullah. Setelah enam tahun di Padang Panjang, tahun 1923, Datuk Palimo Kayo pergi naik haji ke Makkah. Di sana ia menuntut ilmu pada Syekh Abdul Kadir Mandilliy.

Sosok yang dikenangkan selanjutnya adalah Buya Zainal Abidin, orang yang memimpin Thawalib setelah Buya Datuk Palimo Kayo.  Buya Zainal Abidin Ahmad dilahirkan pada 11 April 1911, di Sulit Air, Solok. Ia dapat menyelesaikan pendidikannya di Thawalib hanya dalam 5 lima tahun, yang semestinya diselesaikan selama 7 tahun. Dalam usia 17 tahun ia sudah menamatkan semua pelajarannya. Adapun guru-guru yang berjasa dalam pendidikannya adalah Burhanuddin Magek, Adam St. Chaniago, A. Rahim Munafi, Thaher Bey, dan Abdul Hakim Hamid.

Dan nama yang dikenangkan berikutnya adalah Buya Mawardi Muhammad, orang yang meneruskan mengelola Perguruan Thawalib. Ia lahir pada hari Jumat, 10 Oktober 1913 M, atau bertepatan dengan 9 Dzulqa’dah 1331 H di kampung  Bulaan Kamba, Nagari Kubang Putih, Bukttinggi. Semenjak tahun 1931,  mulai mengabdikan dirinya  menjadi pengajar di Perguruan Thawalib . Hingga beberapa tahun setelah itu, beliau pun diangkat menjadi pimpinan perguruan dari tahun 1959 hingga akhir hayatnya tahun 1994.

Mengenangkan nama nama yang diuraikan di atas, adalah sosok yang terpentin dalam lintasan sejarah Perguruan Thawalib. Sosok kuat yang dikenal keilmuan dan kealiman mereka. Dan sosok sosok tersebut melekat terhadap Perguruan Thawalib itu sendiri.

Membaca profil sosok sosok nama tersebut, terpancar bagaimana kehebatan mereka pada zamannya masing masing dalam mengelola Thawalib. Termasuk pancaran atas karya karya tulisan dan buku yang mereka karang. Nama nama tersebut bukan saja milik Thawalib tapi telah menjadi milik masyarakat bahkan dikenal sebagai ulama Minangkabau.

Mengenangkan sejarah Perguruan Thawalib yang kini berusia 110 tahun dengan tokoh tokoh tersebut, tentu harus menjadi spirit dalam mengelola Perguruan Thawalib saat ini. Spirit para tokoh tokoh tersebut untuk selalu mempertahankan eksistensi Perguruan Thawalib. Spirit untuk terus memajukan dengan upaya yang dilakukan.

Selamat milad Perguruan Thawalib 110 tahun.***

 

 

Leave a Comment